Vemale.com - Jika ditanya kapan waktu yang tepat untuk menikah, apakah jawabanmu?
Apakah usia 24 tahun? 25 tahun? Atau yang penting sebelum usia 30 tahun?
Bicara soal menikah, aku punya jawaban yang tepat untuk pertanyaan 'kapan' tadi, berdasarkan pengalamanku.
Usiaku
saat itu 29 tahun, sudah matang, dewasa, mapan dengan karier yang
terjamin. Sebagai sosok wanita, bisa dikatakan aku cukup sukses, karena
punya fisik yang menurut teman-teman sangat ideal. Aku juga punya karier
dan penghasilan yang sangat cukup untuk dipakai shopping, membeli baju
dan sepatu yang disukai, atau travelling ke beberapa tempat yang indah
saat liburan. Bagaimana dengan kekasih? Tentu saja aku juga punya
kekasih yang sama mapan dan sukses saat itu. Lantas, mengapa aku belum
menikah? Pertanyaan yang bagus, dan akan kujawab dengan cerita yang
singkat.
Rey, sebut saja demikian, adalah pria yang menurutku
sangat sempurna (sempurna itu relatif, dan sebenarnya manusia tidak ada
yang sempurna.) Sudah 3 tahun kami menjalani hubungan serius, kedua
belah pihak keluarga sudah saling kenal, dan bisa dibilang cukup dekat.
Suatu hari, kami pergi ke sebuah cafe untuk menghabiskan waktu berdua.
Kami memang jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Saat itulah
tiba-tiba aku memberanikan diri untuk bertanya, "Rey, kapankah kau akan
menikahiku?" Rey terhenyak dan nyaris tersedak. Dia diam. Sebuah reaksi
yang di luar dugaanku. Kukira dia akan tersenyum dan memegang kedua
tanganku dengan hangat, ternyata tidak. Menurutku, hubungan kami sudah
cukup lama, cukup matang dan kukira aku sudah siap untuk menyandang
status istri. Nyatanya, malam itu Rey berpendapat berbeda. Menurutnya,
ia belum siap, dan masih ingin mengejar beberapa target dalam kariernya.
"Lagipula, Mel... kita masih muda dan nggak ada ketentuan juga kan
harus menikah di usia sebelum 30 tahun," jelasnya membuatku terdiam.
Sejak
malam itu, hubunganku dan Rey spontan jadi renggang. Kami jarang saling
memberi kabar, dan aku merasa semakin hambar saja. Tak lama, kudengar
ia berhasil dipromosikan ke luar negeri. Mengecap pendidikan yang sudah
lama ia incar. Dan lucunya, aku malah mendengar kabar itu dari adiknya.
Kusimpulkan saja bahwa hubungan kami memang telah berakhir.
Aku
sempat down dan banyak berdiam diri. Untungnya sahabat-sahabat dekatku
menyadari perubahan sikapku. Mereka tak ingin melihatku bersedih dan
mengajakku tetap aktif dan tidak terus mengurung diri. Bahkan, mereka
sempat mengenalkan aku pada beberapa kenalan pria. Dari situ aku
menyadari, ternyata banyak pribadi menarik yang selama ini kupandang
sebelah mata. Aku jadi belajar mengenal banyak orang, berbagai karakter
dan kelebihan. Yang jelas, aku tidak menutup diri lagi.
Dari
sekian pria yang mengajakku berkenalan dan kencan, Dharma mungkin yang
paling menonjol. Di luar dugaan, ternyata kami bertetangga. Kantornya
berada di satu gedung denganku, katanya ia sering melihatku. Kalau aku
sendiri, haha... tentu saja lebih banyak sibuk dengan gadget yang ada di
tanganku. Aku merasa tak pernah melihatnya, tetapi setiap kali
berdekatan dan berbincang, aku seperti telah mengenalnya sekian lama. Ia
juga bukan sosok yang sesuai kriteriaku. Cenderung dibilang pria yang
biasa saja, tidak tahu update fashion, simple, dan hobby olahraga.
Dalam
jangka waktu setahun kami berpacaran, kami menikah. Usiaku saat itu 32
tahun, ada yang bilang sudah tua, ada yang bilang masih muda. Ah... aku
tak peduli. Saat itu aku menyadari, bukan usia yang menentukan kita siap
menikah atau tidak, melainkan diri kita sendiri. Dan waktu yang TEPAT UNTUK MENIKAH,
adalah ketika dirimu merasa sudah siap. Bagaimana kau tahu? hatimu yang
akan meneriakkannya dengan keras dan bersemangat. Tepat saat ada
seorang pria yang akan menggenggam tanganmu erat, dan BERANI menemanimu berjalan melewati suka maupun duka, bersama....
0 comments:
Posting Komentar